Masyarakat Adat Kunci Konservasi Keanekaragaman Hayati

2 weeks ago 36
  • Hari Keanekaragaman Hayati (kehati) membuka mata ihwal makin perlu upaya  menyelamatkan kekayaan alam bahkan mendorong praktik kearifan lokal masyarakat adat. 
  • Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup mengatakan,  Indonesia memiliki 22 tipe ekosistem dengan berbagai spesies di dalamnya, yang berperan penting bagi kehidupan dan menyimpan kekayaan manfaat. Mulai dari sumber pangan, obat-obatan, energi hingga simpanan air dan karbon.
  • Dedi S Adhuri, Antropolog Maritim BRIN menilai, partisipasi masyarakat dalam perlindungan Kehati jadi semakin penting belakangan waktu. Sebab, saat ini negara-negara di dunia telah sepakati inisiatif 30 by 30 atau perlindungan 30% daratan dan lautan bumi pada tahun 2030.
  • Publikasi terbaru WGII, hingga Mei 2025, total luas Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) tercatat sebesar 647.457,49 hektar, yang tersebar di 293 wilayah komunitas adat dan lokal. “Tapi dari angka yang sudah kami petakan, potensi AKKMnya justru besar sekali, capai 23,82 juta hektar,” ucap Cindy Julianty, Manajer Program Working Group on Indigenous Peoples’ and Community Conserved Areas and Territories Indonesia (WGII)

Hari Keanekaragaman Hayati (kehati) membuka mata ihwal makin perlu upaya menyelamatkan kekayaan alam dengan mendorong praktik kearifan lokal masyarakat adat. 

Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup mengatakan, Indonesia memiliki 22 tipe ekosistem dengan berbagai spesies di dalamnya, yang berperan penting bagi kehidupan dan menyimpan kekayaan manfaat. Mulai dari sumber pangan, obat-obatan, energi hingga simpanan air dan karbon.

Sayanga, regulasi dan instrumen kebijakan terkait kehati masih minim. Karena itu, jelang penetapan Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) atau rencana aksi dan strategi keanekaragaman hayati, dia minta para pihak segera menentukan langkah dan aksi konkret.

“Sambil ini berjalan segera tentukan langkah-langkah, aksi-aksi konkret, kumpulkan semua regulasi yang dimungkinkan untuk itu,”  katanya dalam peringatan Hari Keanekaragaman Hayati, di Jakarta, Kamis (22/5/25).

Di tingkat tapak, katanya, perlu upaya-upaya peningkatan kearifan lokal dalam perlindungan ekosistem kehati. Caranya, dengan mengelaborasi dan menguatkan kearifan lokal melalui norma-norma regulasi, termasuk kebijakan lokal.

“Justru kebijakan lokal ini yang kita perkuat melalui instrumen, regulasi pemerintah, ini akan jadi penguatan terkait kebijakan lokal. Akan lindungi local wisdom yang lakukan langkah-langkah yang tumbuh alami dari lingkungannya.”

Partisipasi masyarakat, katanya, sangat penting dalam konservasi. Contoh, keterlibatan masyarakat berkontribusi turunkan angka kematian pesut Mahakam karena jaring jadi  0%. Ada pula praktik sasi, konservasi berbasis kearifan lokal di Papua dan Maluku, yang berkontribusi menjaga ekosistem.

Pemerintah pun, katanya,  memformulasikan imbal jasa lingkungan sebagai produk kebijakan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2/2025. Kebijakan ini, mengatur pemberian kompensasi atau insentif kepada orang atau kelompok masyarakat yang menyediakan jasa lingkungan. Dengan begitu, dia percaya, praktik baik masyarakat akan terlindungi.

“Untuk wujudkan langkah kita bersama, mohon kerja sama kita semua untuk memastikan segera membangun instrumen yang kita perlukan. Semua pihak yang memiliki ide, visi misi yang harus disampaikan pada kami, kami sangat terbuka untuk memformulasikan dan menggodok serius menjadi instrumen yang diperlukan dalam rangka perlindungan ekosistem kita.”

Kawasan hutan Batang Toru yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi ini harus dijaga agar tidak rusak. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

Kontribusi masyarakat adat

Sejumlah kajian tunjukkan kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal dalam jaga keanekaragaman hayati. Bahkan, di banyak tempat, konservasi berbasis kearifan lokal jauh lebih efektif ketimbang konservasi konvensional, termasuk yang negara praktikkan.

Dedi S Adhuri, Antropolog Maritim BRIN menilai, partisipasi masyarakat dalam perlindungan kehati makin penting belakangan  ini.  Saat ini, negara-negara di dunia  sepakati inisiatif 30 by 30 atau perlindungan 30% daratan dan lautan bumi pada tahun 2030.

Indonesia, katanya, sudah adopsi inisiatif itu dengan meminta tambahan waktu hingga 2045, dengan janji 30% kawasan Indonesia terkelola dengan prinsip konservasi. Komitmen ini kemudian lahirkan pendekatan other effective area-based convervation measures (OECM), konservasi berbasis kawasan lain yang efektif. 

Menurut dia, adopsi OECM karena keyakinan bahwa kalau hanya menjalankan konservasi konvensional, maka target 30 by 30 tidak akan tercapai. Salah satu riset memprediksi, kawasan konservasi perairan nasional tidak akan mencapai target global 30% tahun 2030, meski saat ini capai target  10%.

“Bahkan, analisis dari lokasi di Indonesia menunjukkan tidak ada satupun kawasan konservasi perairan di Indonesia yang dikelola secara berkelanjuan.” 

Meski demikian, Indonesia punya peluang besar untuk libatkan komunitas lokal dalam perlindungan ekosistem. Sebab, berdasarkan riset kolaborasi yang dia ikuti, teridentifikasi ratusan bentuk pengelolaan pesisir berbasis komunitas.

“Saya optimis kalau kita andalkan praktik-praktik pengelolaan berbasis komunitas untuk pertahankan ekosistem dan biodiversitas, potensi keberhasilannya lebih besar daripada praktik-praktik konservasi yang konvensional.”

Namun, perlu upaya lebih untuk tingkatkan partisipasi masyarakat dalam jaga ekosistem. Sebab, dari ratusan bentuk pengelolaan berbasis komunitas yang  teridentifikasi, baru 30 praktik yang pemerintah akui.

Senada dengan Cindy Julianty, Manajer Program Working Group on Indigenous Peoples’ and Community Conserved Areas and Territories Indonesia (WGII). Publikasi terbaru WGII, hingga Mei 2025, luas areal konservasi kelola masyarakat (AKKM) tercatat 647.457,49 hektar, tersebar di 293 wilayah komunitas adat dan lokal.

“Tapi dari angka yang sudah kami petakan, potensi AKKM-nya justru besar sekali, capai 23,82 juta hektar.”

Kajian mereka juga temukan 66,4% dari keragaman jenis burung di Indonesia terdapat di wilayah yang teridentifikasi AKKM. Di kawasan itu, ada pula 22,8% keragaman jenis reptilia di Indonesia. Angka itu buktikan kontribusi masyarakat dalam memastikan keberlanjutan spesies.

Ditambah lagi, 52% AKKM merupakan ekosistem penting, mencakup key biodiversity area, area bernilai konservasi tinggi, koridor satwa, lahan basah dan taman Kehati. Dengan, 50% tutupan hutan merupakan hutan alami.

Tak hanya itu, komunitas adat dan lokal juga lakukan berbagai bentuk praktik konservasi. Dari proteksi kawasan secara ketat, seperti hutan keramat, hingga peruntukan komersil secara kecil untuk dapatkan manfaat ekonomi.

“Jadi variasi praktik sangat beragam. Kita tidak bisa lihat konservasi ekosistem atau spesies saja, tapi kehati itu sangat berkaitan dengan kesejarahan dan kebudayaan. Masyarakat aktor kunci untuk pastikan kehati terjaga.”

Namun, mereka juga dapati sebagian besar AKKM berada di kawasan hutan (59,9%), kawasan konservasi (21,6%) dan areal penggunaan lain (18,5%). Kondisi ini lah yang sering memengaruhi upaya pengakuan masyarakat adat.

Cindy berharap, temuan itu bisa mendorong pemerintah mau lebih memperkuat kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Serta, akui masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai aktor utama konservasi. 

“Jadi bukan hanya pelibatan (dalam proyek konservasi), tapi aksesibilitas untuk dapatkan pendanaan, pengetahuan, pendidikan, infrastruktur, itu harus dikedepankan.”

Sejumlah lanskap adat yang dilindungi masyarakat menyimpan keanekaragaman hayati tinggi, salah satunya tumbuhan obat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Jalankan kesepakatan CBD

Kasmita Widodo, Koordinator  WGII juga Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat, mengatakan, pemerintah perlu ambil langkah konkret perkuat peran komunitas adat dan lokal dalam perlindungan ekosistem. Salah satunya, adopsi beberapa dokumentasi AKKM yang WGII publikasi. Serta, menindaklanjuti  dengan upaya perlindungan AKKM.

“Nah, jadi, wilayah kearifan lokal yang kaya dengan biodiversitas perlu perlindungan lewat berbagai kebijakan, pengakuan hutan adat, kearifan lokal. Kementerian Lingkungan Hidup juga bisa terlibat.”

Pemerintah juga harus bikin sistem monitoring terbuka terkait kesepakatan Konvensi Keanekaragaman hayati ke-16 (COP16 CBD), yang hasilkan Subsidiary Body on Article 8j (SB8j).

Kesepakatan SB8J berkaitan dengan penghormatan, perlindungan dan pengakuan pengetahuan tradisional, inovasi dan praktik yang masyarakat adat lakukan, yang relevan dengan praktik konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari kehati. 

Meski demikian, dia mengapresiasi langkah pemerintah yang mengundang organisasi masyarakat sipil terlibat dalam penyusunan laporan capaian CBD di tingkat negara, dalam waktu dekat ini. Lewat pembahasan itu, Dodo, sapaan karibnya berharap,  pemerintah terbuka dalam  informasi, data, hingga dokumentasi yang selama ini diselenggarakan masyarakat adat.

“Jadi, terus terang itu instrumen penting, bagaimana sistem monitoring dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Pelaksanaan CBD itu kan banyak targetnya, termasuk pelaksanaan dari pengakuan wilayah adat, itu jadi salah satu masuk dalam capaian. Jadi saya kira itu laporan CSO bisa berkontribusi.”

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)  menambahkan, langkah  pemerintah  untuk jalankan kesepakatan COP16 CBD adalah cabut UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Serta, sahkan UU Masyarakat Adat.

Menurut dia, menindaklanjuti kesepakatan COP16 CBD mesti terwujud dalam bentuk kebijakan yang mengafirmasi hak masyarakat adat dalam konservasi. “Karena hanya dengan adopsi pengetahuan masyarakat adat, pelibatan secara inklusif, akan tetapkan kebijakan indonesia betul-betul tindakan nyata. Bukan hanya igauan,” katanya.

Juga, penerapan kolaboratif manajemen untuk gantikan model konservasi yang sentralistik dan menegasikan masyarakat adat. “Kalau itu terjadi, harusnya digunakan untuk koreksi penetapan kawasan hutan yang serampangan.”

Keanekaragaman hayati di Pulau Belang, Sumbawa Barat. Foto: WCS

*****

Bioakustik, Melestarikan Keanekaragaman Hayati Melalui Suara Satwa

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|