Ironi dari Kampung Lumbung Energi di Kalimantan Timur

2 weeks ago 40
  • Menjadi salah satu penyuplai batubara terbesar ke PLTU di Indonesia, Kalimantan Timur (Kaltim) sarat dengan ironi. Betapa tidak, meski banyak menyuplai batubara ke berbagai PLTU, nyatanya, desa-desa di Kaltim belum sepenuhnya teraliri listrik seluruhnya.
  • Salah satu desa yang belum terliri listrik itu adalah Desa Rangan, Kecamatan Kuaro, Kabupaten Paser. Penetapan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang bersebelahan dengan kabupaten ini tak merubah kodisi tanpa listrik. Padahal, tak jauh dari desa ini juga terdapat tambang batubara.
  • Mashur Sudarsono Wira Adi, Kabid Ketenagalistrikan Dinas ESDM Kaltim menyebutkan, ada 110 desa tersebar di 6 kabupaten/kota yang belum teraliri listrik. Totalnya sekitar 12.000 kepala keluarga (KK). Paling banyak berada di Kabupaten Kutai Barat. Khusus di Kabupaten Paser, terdapat 6 desa belum teraliri listrik PLN.  Di antaranya, Desa Rantau Layung dan Rantau Buta di Kecamatan Batu Sopang, Desa Selengot dan Labuangkallo di Kecamatan Tanjung Harapan, Desa Kepala Telake di Kecamatan Long Ikis, serta Desa Harapan Baru di Kecamatan Kuaro. 
  • Beyrra Triasdian, Manajer Program dan Pengampanye Energi Terbarukan Trend Asia katakan, apa yang dialami Marwati dan Karyadi adalah bukti nyata bagaimana energi di Kaltim itu terjadi. Ironisnya, fenomena itu tidak hanya terjadi di Kalimantan, tetapi juga di wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan alam melimpah. Seperti, Sumatera, Sulawesi, bahkan Papua. Untuk mengatasinya, ia mendorong intensifikasi energi terbarukan berbasis komunitas.

Sudah tiga dekade Marwati, perempuan adat Paser yang tinggal di RT012, Desa Rangan, Kecamatan Kuaro, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur (Kaltim) gelap-gelapan meski tinggal di provinsi dengan lumbung energi nasional. Penetapan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) yang bersebelahan dengan kabupaten tempat tinggalnya tak mengubah nasibnya. 

Langit siang itu mendung di pertengahan April. Awan menutupi matahari yang menjadi satu-satunya harapan Marwati. Sehari-hari, perempuan paruh baya ini bergantung pada panel surya untuk menghidupkan satu bohlam tiga watt di malam hari. 

Saat musim hujan, Marwati resah karena terancam tak ada listrik semalaman. “Kalau enggak ada matahari, redup. Kita untuk malamnya, tambah senter sudah. Makanya ini senter berjejer,” katanya sambil menunjukkan lima senter dengan berbagai kapasitas daya baterai. 

Jika ada waktu untuk ke pasar, Marwati lebih memilih  membeli baterai dibandingkan bahan pangan. Baginya, kegelapan menjadi momok yang mengkhawatirkan, bahkan mengancam keselamatannya.

Rumah Karyadi, tetangganya juga tak jauh beda. Sama dengan Marwati, Karyadi juga menggunakan panel surya berkapasitas 30 WattPeak (WP) untuk menghidupkan lampu bohlamnya. Sumber listrik ini berasal dari hibah pemerintah saat pandemi CIVID-19 tahun 2022. 

“Ini hanya bisa menyalakan satu  lampu, itu pun tak lebih dari 12 jam,”  katanya. 

Jarak rumah Marwati dan Karyadi dengan IKN sekitar 140 km dan menjadi provinsi penghasil batubara terbesar di Indonesia. Bahkan, Kabupaten Paser masuk tiga besar pemegang konsesi tambang batubara di Indonesia. Salah satunya,  PT Kideco Jaya Agung (KJA) dengan luasan lebih dari 45.000 hektar. Sekitar 30% produksi untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional.  

Berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Provinsi Kalimantan Timur 2025-2045, Kaltim dan Kaltara (Kalimantan Utara) memiliki daya listrik berlebih. Yakni, mencapai 845,118 MW, dengan beban puncaknya hanya 730,24 MW. Artinya, ada surplus sekitar 114,878 MW. Kapasitas itu cukup menerangi sekitar 80.000 rumah dengan rata-rata konsumsi 1,54 kW per hari. Tapi, tak satu pun kilowatt itu sampai ke rumah Marwati dan Karyadi.

Marwati menyiapkan senter yang menjadi sumber penerangan utama di rumahnya. Foto: Niken Sitoningrum/Mongabay Indonesia.

Diskriminasi di depan mata

Tiang listrik berdiri tegap dengan kabel PLN menjuntai di depan rumah Karyadi dan Marwati. Karyadi pun kerap kesal saat petugas meminta izin untuk memotong pelepah sawit milik karena mengganggu kabel listrik. 

Sejak 2019, aliran listrik masuk ke Desa Rangan tetapi tidak semua warga menikmatinya. “Saya enggak tahu gunanya itu untuk apa barang itu, karena saya enggak dapat (listrik),” kepada Mongabay

Rumah Karyadi tidak berada di pelosok, jarak hanya enam kilometer dari jalan poros penghubung Kabupaten Paser dan Penajam Paser Utara—kawasan IKN. Sementara itu, gardu induk Kuaro berjarak 7 kilometer dari rumahnya yang juga bersebelahan dengan konsesi tambang PT Madhucon Pasir Makmur (MPM).

Kendati berdekatan dengan MPM, perlakuan negara dengan dirinya ibarat langit dan bumi. Betapa tidak, saat mess para pekerja terang benderang karena sudah teraliri listrik, selama bertahun-tahun dia  justru berjibaku melawan gelap. Padahal, dengan gardu induk, jarak rumahnya lebih dekat ketimbang mess tersebut.

“Mungkin kami warga ini nyata kalah uang. Karena kalau perusahaan kan berat. Pasti besar omzetnya. Kalau kami ini apa ada? Untuk hari-hari aja susah.”

Pada 2019, Marwati dan Karyadi pernah mengajukan pemasangan listrik PLN untuk ke rumahnya. Hingga detik ini, impian untuk mendapatkan listrik itu  sebatas angan. Alasannya, akses gardu dan biaya kabel penyambung daya mahal dan jauh.

“Memang bahasanya mereka suruh (kita) beli kabel, dari sana (gardu induk), ke sini. Nominal uangnya itu kalau enggak salah, Rp17 juta kah berapa itu. Saking kepenginnya itu, apa daya kami enggak mampu. Belum sama meteran.” 

Sebagai catatan, MPM merupakan satu dari 26 izin tambang batubara aktif di Kabupaten Paser. Luasan konsesinya 140,37 hektar dan memiliki IUP hingga 28 Januari 2028. Perusahaan ini terafiliasi dengan PT Madhucon Indonesia yang juga memiliki konsesi tambang batubara seluas 7.628 hektar di Sumatera Selatan. Perusahaan itu menjadi bagian dari Madhucon Projects Ltd., korporasi besar asal India. 

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan 38% cadangan batubara nasional ada di Kaltim atau mencapai 11,59 miliar ton. Provinsi ini juga memegang jumlah PLTU terbanyak dengan jumlah 26 unit

Mashur Sudarsono Wira Adi, Kabid Ketenagalistrikan Dinas ESDM Kaltim menyebutkan, ada 110 desa tersebar di enam kabupaten/kota yang belum teraliri listrik. Total, sekitar 12.000  keluarga. Paling banyak berada di Kabupaten Kutai Barat.

Khusus di Kabupaten Paser, terdapat 6 desa belum teraliri listrik PLN. Di antaranya, Desa Rantau Layung dan Rantau Buta di Kecamatan Batu Sopang, Desa Selengot dan Labuangkallo di Kecamatan Tanjung Harapan, Desa Kepala Telake di Kecamatan Long Ikis, serta Desa Harapan Baru di Kecamatan Kuaro. 

“Kita ini masih ada 110 desa yang belum ada listriknya. Kita akan fokus 3 tahun ini ke situ. Kalau ada sisa anggarannya baru bisa (menjangkau) ke dusun, tapi kita akan sebagian besar ke desa dulu. Lebih baik kita bikin jalur distribusinya dulu.” 

chart visualization

Keadilan energi?

Sejak lima tahun terakhir, Marwati dan Karyadi merasakan pentingnya ada listrik di rumahnya. Baik untuk kebutuhan harian hingga keselamatan dirinya. Tak adanya listrik membuat malam Marwati was-was. 

Satwa liar hingga orang tak dikenal seringkali mengganggu. Tak jarang hewan ternak mereka mati ditembak atau dimakan ular. “Agak takut juga sih rasanya kalau malam itu. Takutnya ular, takut ada orang juga. Namanya orang itu kan kita enggak tahu akal-akalnya orang. Di sini kan pernah, ngetuk-ngetuk rumah, malam itu,” kata Marwati mengenang kejadian itu.

Bantuan panel surya dari pemerintah tahun 2022 sempat memberikan kelegaan, tapi setengah hati. Pasalnya, masyarakat tak mendapatkan pelatihan penggunaannya dan perawatannya. “Pasang sendiri (panel surya). Dikasih gitu aja, kami mengikuti panduan itu aja sudah,” ujar Karyadi

Marwati berharap ada akses listrik yang stabil untuk rumahnya. “Kita kan sering cari ikan di sungai. Untuk bikin es pengawet (mengawetkan) ikan itu kan enggak ada, (mau) nyimpan di kulkas kan enggak ada. Jadi susah. Pengin punya lampu juga.” 

Beyrra Triasdian, Manajer Program dan Pengampanye Energi Terbarukan Trend Asia katakan, Marwati dan Karyadi adalah bukti nyata bagaimana energi di Kaltim itu terjadi. Skesejahteraan seharusnya bisa mereka rasakan merata dan listrik menjadi kebutuhan dasar yang tak bisa lepas bagi kehidupan manusia.”

“Kalau gitu, kan sebenarnya PLN membebankan (penyambungan) jaringan terhadap si masyarakatnya secara tidak adil,” kritik Beyrra.

Ironisnya, fenomena itu tidak hanya terjadi di Kalimantan, tetapi juga di wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan alam melimpah. Seperti, Sumatera, Sulawesi, bahkan Papua. “Semua orang harus mendapatkan akses yang sama, kemudahan yang sama untuk mendorong kesejahteraan masyarakatnya,.” 

Senada dengan Beyrra, Happy Aprillia, Kepala UPA Laboratorium Terpadu Institut Teknologi Kalimantan menilai, permintaan tambahan biaya dari PLN untuk menyambungkan kabel dan mendistribusikan listrik kepada masyarakat tidak dibenarkan. Meskipun ada biaya tambahan, seharusnya itu tidak dibebankan ke masyarakat. 

“Karena dari sisi PLN juga memiliki kewajiban untuk memberikan daya berdasarkan permintaan dari pelanggan,” katanya ketika dihubungi Mongabay.

Mashur Sudarsono, Kabid Ketenagalistrikan Dinas ESDM Kaltim, mengatakan, bila jarak dari tiang tekanan rendah untuk sambungan ke rumah warga melebihi 60 meter, maka tambahan biaya memang diperlukan. Namun, penyedia jaringan seperti PLN seharusnya juga melihat kemampuan finansial masyarakat.

“Biasanya itu, PLN-nya minta pembiayaan untuk tiang sama kabelnya. Tapi, harganya (nominal) biasanya enggak tinggi-tinggi juga sih. Tapi kan kita juga harus melihat, dia (warga) mampu atau enggak,” katanya melalui telepon. 

Pemerintah, katanya, sedang melaksanakan program peningkatan elektrifikasi yang berfokus pada desa-desa yang belum teraliri listrik. Tahun ini, ESDM  menargetkan 25 desa di lima kabupaten/kota. Dia  berharap,  rasio elektrifikasi 100% di Kaltim tercapai 2027.

Rumah Marwati yang hingga kini tanpa listrik. Tampak jaringan kebal listrik melintas di atas atap rumahnya. Foto: Niken Sitoningrum/Mongabay Indonesia.

Solusi berbasis komunitas

Kesenjangan akses listrik di lumbung energi begitu nyata terjadi. Beyrra mengatakan, pemerintah perlu melakukan desentralisasi energi untuk mengatasinya situasi itu. Misalnya, dengan mendorong kemandirian masyarakat untuk mengembangkan potensi energi di wilayahnya. Dana-dana transisi energi atau yang bersumber dari antisipasi krisis iklim, bisa diberikan ke masyarakat sebagai bentuk dukungan untuk beralih dari energi fosil.

“Masyarakatnya yang memang memiliki sumber daya energi terbarukan bisa menggunakan itu. Apalagi yang misalnya ada sungai-sungai kecil, kemudian memang dilimpahkan kekayaan sinar matahari yang banyak. Makanya pentingnya desentralisasi, di mana mereka bisa mengelolanya sendiri,” katanya.

Meski begitu, Sony—panggilan akrab Mashur Sudarsono mengatakan transisi energi masih belum bisa dilakukan. Dia bilang, hasil tangkapan daya energi terbarukan tak sebanding dengan daya batu bara. 

“Tadinya kan kita mainnya di PLTS, yang wilayah-wilayah yang 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) itu kan. Tak pikir, kok PLTS ini juga enggak efisien, kan Watt-nya kecil banget. Jadi lebih baik kita banting setir ke jaringan, dari tahun 2023 baru mulai.” 

Happy Aprilia menyebutkan pengembangan energi terbarukan dengan memanfaatkan tenaga surya paling memungkinkan untuk seluruh wilayah Kalimantan Timur. PLTS dengan sistem off-grid berbaterai ataupun tidak, bisa dipasang sampai ke lokasi paling terpencil sekalipun. Untuk merealisasikannya, dukungan pemerintah menjadi sangat vital. 

“Kalau tidak ada dukungan dari pemda yang menyatakan itu ke PLN, tentu masukan dari para pelanggannya yang hanya dua orang itu tidak terlalu digubris.”

Beyrra menyebutkan hal utama saat ini adalah pemerataan akses energi. Marwati dan Karyadi, hanya segelintir masyarakat di Kaltim yang belum merasakan elektrifikasi merata dalam wilayah yang disebut lumbung energi.

“Bukan lagi ngomongin tentang transisi energi lagi, itu ngomongin tentang akses ke energi yang enggak nyampe. Terdapat akses energi yang belum merata.” 

*Liputan ini merupakan kolaborasi Mongabay Indonesia dengan dukungan AJI Indonesia dan Traction Energy Asia.

*****

Bali Gelap, Menagih Kembali Transisi Energi Bersih

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|